Kalau saja Musimin tidak bertekad mengubah nasib, mungkin sampai sekarang tetap menjadi kuli bangunan atau hidup kekurangan di Jakarta yang hingar bingar itu. “Dulu saya merantau di Jakarta sebagai kuli bangunan sejak menikah tahun 1987 hingga 1991. Tinggal di kontrakan bangunan kecil dan makan nasi bungkus tiap hari, ” kenang Musimin (51 tahun) yang berasal dari Cilacap itu.
Bosan dengan kemelaratan di Jakarta, suatu ketika Musimin diajak temannya untuk ikut program Transmigrasi. Meski awalnya ragu, tapi karena didukung sang isteri bernama Sutinah, dia pun berangkat juga ke Riau untuk transmigrasi tahun 1991.
Sebagai transmigran, dari pemerintah keluarga Musimin berhak mendapatkan tempat tinggal rumah papan yang sederhana, lahan 1 kavling, jatah beras dan lauk pauk (ikan asin, minyak goreng) untuk hidup selama 2 tahun gratis.
“Sebenarnya lahan sawit dari pemerintah itu tidak murni gratis, tapi kami harus mencicil dengan harga murah setiap panen tiba,” ujar pria yang menjadi transmigran sejak usia 28 tahun itu. Lahan sawit itu kredit ke pemerintah selama 4 tahun dan pendapatan dipotong 30% dari hasil panen sawit.
Kala itu, tiap pagi Musimin harus menempuh perjalanan jauh untuk menuju ke ladang sawit dengan jalan kaki. Di sela-sela kesibukannya bercocok tanam di ladang sendiri (dari jam 7.00-14.00), dia juga menjadi buruh paruh waktu di ladang orang lain demi menambah penghasilan. Dikisahkan, tahun 1991 pendapatannya sebagai buruh Rp1.250 per hari. Lalu, tahun 1993 upah buruh naik menjadi Rp1.800. Kini, upah pasaran buruh mencapai Rp76.000 per hari.
Hidup dalam keprihatinan selama 3 tahun pertama sebagai transmigran, diakui Musimin sempat membuatnya ingin pulang kampung. Maklum, saat itu banyak teman-teman transmigran yang tidak kuat, sehingga tergoda balik ke Jawa. Apalagi saat itu banyak kejahatan seperti perampokan di sana. “Kalau tidak sungguh-sungguh ingin mengubah nasib di sini, pasti saya sekeluarga juga ikutan pulang ke kampung,” pria yang tidak tamat Sekolah Dasar itu berujar.
Di tengah keterbatasan itu, muncul ide Sutinah untuk mengusir kejenuhan dan bantu suami mencari nafkah, yaitu mencoba beberapa usaha. Mulai dari buka warung ala kadarnya, jualan bakso, keliling dagang tempe dan rias pengantin sederhana. “Keterampilan itu saya dapatkan sejak ada di kampung asal dan sekolah saya kan terakhir di kejuruan SMK,” ucap Sutinah dengan wajah sumringah.
Waktu terus berjalan. Kehidupan suami isteri ini pun dilalui dengan rutinuitas. Keteguhan dan kegigihan Musimin dan Sutinah sedikit demi sedikit berbuah manis. Lihat saja, tahun 1995, panen perdana kebun sawit Musimin dimulai. Saat itu produksinya mencapai 1 ton dengan harga jual sawit Rp200/kg. Kalau sekarang, harga pasarannya stabil di kisaran Rp1.700/kg dengan rata-rata volume panen 4-6 ton per bulan.
Jumlah panen yang terus meningkat diiringi dengan usaha sampingan isteri, membuat perekonomian rumah tangga Musimin terus membaik. Puncaknya, saat terjadi krismon tahun 1997-1998 harga sawit melambung di Rp2 juta/kg. Inilah momen titik balik para petani sawit yang bak mendapatkan durian runtuh. Bisa ditebak, kantong Musimin dkk menjadi tebal dari penjualan panen sawit.
Untuk apa saja rezeki nomplok itu? “Hasil panen sawit itu saya belikan lagi lahan untuk kebun sawit, beli tanah dan membangun rumah,” kata kakek seorang cucu ini. Rumah dan kebun Musimin berlokasi di Desa Kumbara Utama, Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Ya, seiring pergantian hari, kondisi Musimin memang sudah berubah drastis. Sebagai mantan kuli bangunan, dia tahu betul bagaimana mendesain rumah yang kokoh dan indah. Maka, dia menggandeng kontraktor yang juga temannya sendiri untuk membangun rumah mewah seluas 224 meterpersegi yang menghabiskan dana Rp1 miliar. “Untuk luas rumahnya ukuran 14×16 meter, sedangkan luas pekarangan 500 meterpersegi,” tambah Sutinah (47 tahun).
Selain rumah mewah, saat ini jumlah kebun sawit Musimin juga bertambah luas: 8 kavling kebun hasil plasma dengan Asian Agri dan 6 kavling kebun di luar plasma (swadaya). Bagaimana dengan kendaraan? “Meski rumah sudah saya siapin garasi yang muat dua mobil, tapi sampai sekarang saya belum beli mobil karena belum perlu. Kendaraan kami hanya 4 motor,” tutur Musimin merendah.
Agar kehidupan pewarisnya lebih baik, Musimin juga menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Dari 4 anaknya, 1 orang sedang kuliah S1 di Riau, 1 orang lulus STM, 1 orang masih SMP plus 1 anak masih kelas 5 SD.
Pengalaman lain dari hasil menjadi petani sawit sukses? “Kalau pulang kampung bisa naik pesawat. Saya dan isteri juga sudah menunaikan ibadah haji tahun 2010,” ucapnya lega. Apalagi, kini bisnis Sutinah berkembang dengan memasuki usaha klinik herbal, totok wajah dan MLM Tupperware.
“Saya yang mengajukan diri untuk menjadi plasma mitra binaan Asian Agri. Kami berterima kasih dengan dukungan Asian Agri yang cukup lama selama ini. Rencananya kami akan mengembangkan usaha ke ternak ayam dalam waktu dekat,” kata Musimin tentang rencana pengembangan usahanya tahun 2015.
Apa kunci suksesnya? “Kerja keras,” ujarnya tandas. Dia pun sudah mempersiapkan anak-anaknya untuk menjadi generasi penerus petani sawit, salah satunya anak sulung yang sudah mengikuti jejaknya.
Sumber : swa.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar