Kisah Sukses Petani Kelapa Sawit

Rumah di Jl Pancasila No 1, Dusun Tani Jaya, Desa Pusat Damai , Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, itu tampak beda. Terlihat kebun sawit seluas 0,2 hektar usia sembilan bulan di pekarangannya.

Kebun tersebut milik warga suku Dayak Kendayan bernama Usman (40). Saat ditemui di kediamannya, Kamis, 25/10, Usman menuturkan sudah mengenal kelapa sawit sejak dini. Perkenalannya dimulai sejak 1986, ketika ia duduk di bangku Sekolah Dasar Negeri 24, Pampang, Samarinda, Kalimantan Timur. Saat itu, ia menjadi buruh lepas selama dua bulan di perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara XIII (PTPN XIII). “Saat itu, saya merasakan betapa sakit menjadi buruh yang hanya dibayar Rp 1.500 per hari,” ujarnya.
Pada 1999, Usman berpikir untuk membuka perkebunan kelapa sawit secara swakelola untuk menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. “Saat itu, saya sama sekali tidak membayangkan akan berhasil membuka kebun kelapa sawit seluas 18 hektar,” cerita alumnus Sekolah Menengah Pertama Negeri 1, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat (Kalbar) ini.



Tiga tahun kemudian, 18 hektar kebun sawit itu panen perdana 1,2 ton tandan buah sawit (TBS). Kebun sawit yang berlokasi di Ngabang, Kabupaten Landak, Kalbar, ini terus ia kembangkan hingga sekarang.


Kini, Usman adalah pemilik 215 hektar kebun sawit. “Seluas 58 hektar dari kebun itu sudah berproduksi, dan hasilnya mampu membiayai kebun baru, dan meremajakan tanaman tua,” lanjut anak kedua dari enam bersaudara ini.

Kunci sukses
Usman menilai, kebun sawit punya prospek cemerlang di masa depan, karena pengelolaannya tidak membutuhkan keahlian khusus. Kerjanya sederhana, tak ada penyakit tanaman, yang ada hanya “hama manusia” saja. ”Dari usaha kelapa sawit, saya dapat meningkatkan perekomonian keluarga. Sampai saat ini, saya masih terus menanam dan mengembangkan kelapa sawit,” demikian alumnus Universitas Kapuas Sintang, Kalbar ini.

Selain itu, ia menilai kebun sawit menguntungkan jika dikelola secara mandiri, tidak bermitra dengan perusahaan. Menurut hasil penelitian tesisnya yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemerintah Dae­rah Kabupaten Sanggau dalam Pengaturan Perkebunan Kelapa Sawit Pola Kemitraan di Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau”, para petani kelapa sawit hanya mendapatkan penghasilan Rp 300.000 per bulan jika bermitra dengan perusahaan. “Dari sini terlihat jelas bahwa dalam pola ke­mitraan, pihak petani yang paling dirugikan. Jika ingin sukses, se­baiknya perkebunan kelapa sawit dikelola secara mandiri,” beber Usman yang juga alumnus Program Magister Ilmu Sosial, Universitas Tanjungpura, Pontianak ini.

Usman menyarankan, jika petani punya lahan lima hektar misalnya, sebaiknya ia menanam, mengelola, dan menjual hasil kebun sawit secara mandiri. Dengan cara itu, petani dapat hidup lebih sejahtera.

Menurut warga Paroki St Perawan Maria Tak Bernoda, Pusat Damai, Ke­uskupan Sanggau ini, seorang perkebun sawit harus mampu merawat kebunnya se­cara optimal, antara lain dengan membe­ri pupuk yang tidak berlebihan. “Kita ini orang biasa, tidak perlu kebun yang be­sar, yang penting terawat dengan baik,” ujar pria kelahiran Pampang, 10 Desember 1972 ini.

Kendati terpaksa harus bermitra, alangkah baiknya tidak menyerahkan seluruh lahan perkebunan kepada pihak perusahaan. Usman mencontohkan, jika petani punya lahan kebun seluas 10 hektar, cukup diserahkan kepada perusahaan dua hektar. 

Bermitra dengan perusahaan ibarat “batu loncatan”. Salah satu keuntungan bermitra dengan perusahaan adalah terbangunnya infrastruktur jalan yang tadinya tidak ada. Namun, jangan serahkan seluruh lahan perkebunan, jika tidak ingin menjadi buruh di tanah sendiri. Sebab, buruh hanya akan mendapatkan upah yang minimum, serta diatur pihak perusahaan.

Saat ini, Usman telah mempekerjakan 22 tenaga terdiri dari dua pengawas ke­bun, 12 karyawan tetap, serta de­lapan buruh lepas. Dua belas orang di antaranya berasal dari Jawa Tengah. Upah yang didapat para karyawan rata-rata Rp 1.500.000 per bulan.

Keunggulan sawit
Sukses juga diraih Digdo Purba (57), warga Paroki Santa Theresia Nobal, Ke­uskupan Sintang, Kalbar. Pada 1999, Purba membuka lahan seluas 10 hektar di Desa Nobal untuk ditanami ke­lapa sawit. Awalnya, ia bekerjasama de­ngan perusahaan selama enam tahun. Sehingga, ada pembagian hasil antara Purba dengan perusahaan. “Delapan puluh persen untuk perusahaan, dua puluh persen untuk saya,” katanya.

Setelah masa kerjasama berakhir, Purba mengelola kebun sawit seluas 10 hektar itu secara mandiri. Laba yang ia peroleh dari kebun itu, ia kembangkan dengan membuka lagi lahan seluas de­lapan hektar. Saat ini, Purba memiliki 18 hektar kebun sawit yang ia kelola se­cara mandiri.

Dari hasil berkebun, Purba berhasil membiayai kuliah tiga anaknya, dan dua anak yang masih di SD. “Yang pertama lulus S1 Universitas Trisakti. Anak kedua sedang mengambil Program S2 di Universitas Sumatra Utara, dan anak ke­tiga kuliah Program S1 di Universitas Bina Nusantara Jakarta,” ungkapnya.

Menurut Purba, berkebun kelapa sawit lebih menguntungkan daripada berkebun karet. Tiga alasan utama ia jabarkan ketika diwawancarai di rumahnya di Desa Nobal, Kabupaten Sintang, Kalbar, Sabtu, 20/10.
“Pertama, jika berkebun karet, bila hujan, kita tidak bisa menyadap,” ungkapnya. Bila menyadap di saat hujan, getah karet bisa menyatu dengan air hujan. “Akibatnya, panen kita gagal,” je­lasnya.

Selain itu, jika pohon karet sering disadap hingga ke bagian batang, maka be­berapa tahun kemudian pohon karet akan tumbang. “Memang tetesan getah le­bih deras ketika disadap pada bagian batang, tapi tunggu empat tahun lagi, pohon karet itu akan roboh,” ucapnya. Inilah faktor kedua yang menjadi pertimbangan Purba.

Lalu, faktor ketiga, Purba melihat minimnya harga jual hasil panen. Harga getah karet di Pontianak tidak pasti. “Tidak ada ketentuan harga, sebab yang me­nentukan para distributor yang lebih dikenal dengan sebutan tengkulak,” kata Purba. Sehingga, satu kilogram getah karet bisa dihargai Rp 4.000.

Karena mempertimbangkan ketiga faktor tersebut, Purba memilih berkebun sawit. “Sejak saya bertani, Puji Tuhan anak-anak saya bisa sekolah sampai sarjana,” ujarnya.

Sumber :  http://www.hidupkatolik.com dan youtube.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar